Tuesday, February 16, 2016

My Mom and His Mom



Aku menjalani hidup yang tak biasa. Ketika duduk dibangku SD, Ibuku sakit keras dan saat itu aku yang baru berusia 11 tahun hanya bisa menangis dan tak tahu harus berbuat apa untuk meringankan sakit Ibuku tercinta. Hidupku berubah ketika Ibuku sakit. Aku yang biasanya setiap bangun tidur tinggal sholat, mandi, makan lalu berangkat sekolah. Kini aku harus bersih-bersih rumah, masak dan mencuci pakaian sebelum berangkat sekolah. Beberapa rumah sakitpun telah disinggahi Ibuku, namun Ibuku tak kunjung sembuh. Mujahadah, ruqyah dan minta di do’akan kyai pun telah dilakukan. Setiap hari Ibuku mengkonsumsi jamu yang sangat pahit rasanya. Ada tetanggaku yang bilang “Nyong gawe Ibumu lara saklawase ya bisa, gawe mlarat saklawase ya bisa, gawe mati ya bisa”. Hatiku merintih dan menangis mendengar perkataan itu. Ibuku adalah orang yang sangat baik mengapa tega orang itu bicara seperti itu padaku disaat Ibu sedang sakit parah. Aku hanya bisa berdo’a sama Alloh agar Alloh menyembuhkan Ibu seperti sediakala. Aku percaya hanya Alloh yang maha kuasa melakukan sesuatu terhadap makhlukNYA. Saat aku duduk dibangku kelas 1 SMP, Ibu memutuskan untuk mengikuti beladiri silat BS Melati. Tujuan Ibuku hanya satu, yaitu Ibu ingin sembuh, ingin hidup lebih lama lagi, ingin melihat aku dan kakakku menjadi orang. Namun Ibuku masih tetap sakit. Hingga pada akhirnya ada yang memberitahu agar Ibuku di ruqyah dengan bacaan sholawat syifa sebanyak 2000X. Jika Ibuku memang masih akan panjang umur, Ibuku akan sembuh dan terbebas dari penyakitnya namun jika Ibuku memang akan dijemput oleh sang Pemilik kehidupan, maka Ibu akan segera pergi dengan tenang agar Ibuku tak menderita lagi karena sakit yang di deritanya. Alhamdulillah setelah itu Ibuku sehat, sembuh seperti sediakala. Ibuku masih ada disisiku hingga sekarang. Lihatlah Ibu, kini kakak sudah menjadi seorang guru, menikah dan memiliki anak. Dan aku kini telah menjadi sarjana. Aku juga akan menjadi seorang guru yang akan mengamalkan ilmu dan mencerdaskan anak bangsa. Sungguh aku tak menyangka Ibu akan diberi nafas hingga sekarang jika ingat masa itu. Sungguh, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan. Terima kasih ya Alloh. ***

Ketika aku pulang KKN dan mengurus skripsi, tak ku lihat pujaan hatiku di kampus. “Mas Faiz dimana?”, kataku dalam hati. Hatiku tersontak sangat hebat saat ku dengar dari teman sekelasnya bahwa Ibu Mas Faiz sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Pikirankupun melayang, aku yakin apa yang Mas Faiz kini rasakan tak beda dengan apa yang aku rasakan ketika Ibuku sakit dulu. “Ya Alloh, sembuhkan Ibu Mas Faiz, angkatlah penyakitnya”, gumamku lirih. Tak terasa air mata menetes di pipiku saat itu. Semenjak Ibu Mas Faiz sakit, aku selalu sebut namanya di dalam do’aku. Aku tak bisa membayangkan betapa sedihnya Mas Faiz saat ini. Ibu tercintanya sakit, disaat dia harus mulai menulis skripsi. Ingin rasanya aku menjenguknya tapi tidak mungkin karena aku takut itu akan mengganggu jiwa Mas Faiz. Aku tahu dia tak suka aku datang karena saat aku bertanya apakah Ibu masih dirumah sakit atau tidak, dia tak menjawab. Jadi lebih baik aku do’akan saja. Lalu aku kirimkan bacaan sholawat syifa kepada Mas Faiz lewat WA. Aku menganjurkan agar sholawat itu dibacakan kepada Ibunya yang sedang sakit. Aku ingin Ibunya sembuh seperti Ibuku dulu. Keesokan harinya, aku pulang ke Wonosobo setelah aku menyerahkan revisi BAB 1 pada Pak Wid, pembimbingku. Lalu dua hari kemudian aku menerima sebuah sms. Ku buka sms itu di hari sabtu pagi. “Ibunya Mas Faizin meninggal tadi siang jam 1. Takziah gak?”. Kulihat sms itu dikirim hari jum’at pon, 29 jumadil awal 1436H/ 20 Maret 2015, tepat dua hari setelah aku berulang tahun dan jum’at pon adalah hari lahir Ibuku. Badanku lemes dan mataku kunang-kunang setelah ku baca sms itu. Tak sanggup aku berkata dan air matapun tak mau menetes. “Innalillahi wainnailaihi roji’un”, kataku sambil menggenggam ponsel. Ibuku heran melihat sikapku dan bertanya apa yang membuat aku begini. Aku hanya memperlihatkan sms yang aku terima pada Ibuku. “Lha sira agek takziah kapan?”, tanya Ibuku kemudian. “Mas Faiz mboten remen nek kulo mriko”, jawabku. “Seneng ora seneng, takziah ora ana salahe. Seng penting niate apik, tanggepane Faizin ora sah dipikir”, jawab Ibu. Lalu aku tanya teman alamat Mas Faiz. Jawaban temanku “Kalau lewat jalur dalem, dadirejo belok kiri lurus ngikutin jalan aspal. Ada masjid Banjaran belok kiri kira-kira 200 meter rumah kanan jalan”. Pusing kepalaku karena aku belum pernah tahu daerah itu. Ada teman juga yang ngasih alamat lengkap padaku sampai RT berapa juga. Ada juga yang ngasih tahu lewat SMP Temon masuk juga bisa. Tak pikar-pikir, tak pikir-pikar, akhirnya aku cari alamat itu bersama temanku. Dengan muter-muter, nanya-nanya akhirnya ketemu juga masjid yang dimaksud. Tapi ternyata aku kurang beruntung karena aku tidak bertemu Mas Faiz. Dia sedang ke jogja untuk sebuah urusan. Aku hanya bertemu dengan neneknya, tantenya dan sepupunya. Mereka sangat baik padaku. Lalu aku minta sepupunya mengantar aku ke makam Ibu Mas Faiz. Tak mengapa meski tak bertemu dengannya, toh niatku datang untuk takziah bukan untuk menemui pria yang ku sebut my prince. Namun aku tak menyangka karena keesokan harinya saat aku sedang di kos, aku mendapatkan pesan lewat WA yang tak sedap dari sepupunya. Kata-katanya sungguh menusuk lalu Mas Faiz juga blokir WA ku. Aku sungguh tidak mengerti apa yang membuat mereka marah padaku sedemikian hebatnya. Sepupunya menuduh aku menulis apa gitu yang membuat dia marah dan sakit hati terus juga menuduh kalau apa yang aku lakukan hanya untuk menarik perhatian Mas Faiz. Membawa-bawa sakit dan meninggalnya Ibu pada tulisan tentang aku dan Mas Faiz. “Astaghfirullohal’adzim, Engkau tahu ya Alloh bahwa aku tak sejahat itu. Biarlah mereka marah, aku ikhlas”. “Lindungilah Mas Faiz ya Alloh, sehatkan dia, lembutkanlah hatinya dan sabarkanlah dia. Terimalah almarhumah Ibu disisiMU yang paling indah. Amin”. Aku akan tetap mencintainya meski ku tahu cintaku dia balas dengan kebencian. Aku akan tetap menyayanginya meski aku tahu dia selalu mengabaikan aku dan tak suka padaku dan akan selalu begitu. Aku akan tetap mendo’akan yang terbaik untuknya meski dia tak pernah mengingatku walau seperti angin berlalu. Aku memang tak pernah mengenal Ibu saat beliau masih hidup namun kini aku mengenal dan selalu berkomunikasi padanya lewat lantunan ayat alqur’an, tahlil, do’a dan sholat lianisil qobri yang aku lakukan setiap hari untuk almarhumah Ibu yang telah melahirkan dan merawat seorang pria yang sangat aku sayangi

0 komentar:

Post a Comment