Aku menjalani hidup yang tak
biasa. Ketika duduk dibangku SD, Ibuku sakit keras dan saat itu aku yang baru
berusia 11 tahun hanya bisa menangis dan tak tahu harus berbuat apa untuk
meringankan sakit Ibuku tercinta. Hidupku berubah ketika Ibuku sakit. Aku yang
biasanya setiap bangun tidur tinggal sholat, mandi, makan lalu berangkat
sekolah. Kini aku harus bersih-bersih rumah, masak dan mencuci pakaian sebelum
berangkat sekolah. Beberapa rumah sakitpun telah disinggahi Ibuku, namun Ibuku
tak kunjung sembuh. Mujahadah, ruqyah dan minta di do’akan kyai pun telah
dilakukan. Setiap hari Ibuku mengkonsumsi jamu yang sangat pahit rasanya. Ada
tetanggaku yang bilang “Nyong gawe Ibumu lara saklawase ya bisa, gawe mlarat
saklawase ya bisa, gawe mati ya bisa”. Hatiku merintih dan menangis mendengar
perkataan itu. Ibuku adalah orang yang sangat baik mengapa tega orang itu
bicara seperti itu padaku disaat Ibu sedang sakit parah. Aku hanya bisa berdo’a
sama Alloh agar Alloh menyembuhkan Ibu seperti sediakala. Aku percaya hanya
Alloh yang maha kuasa melakukan sesuatu terhadap makhlukNYA. Saat aku duduk
dibangku kelas 1 SMP, Ibu memutuskan untuk mengikuti beladiri silat BS Melati.
Tujuan Ibuku hanya satu, yaitu Ibu ingin sembuh, ingin hidup lebih lama lagi,
ingin melihat aku dan kakakku menjadi orang. Namun Ibuku masih tetap sakit.
Hingga pada akhirnya ada yang memberitahu agar Ibuku di ruqyah dengan bacaan
sholawat syifa sebanyak 2000X. Jika Ibuku memang masih akan panjang umur, Ibuku
akan sembuh dan terbebas dari penyakitnya namun jika Ibuku memang akan dijemput
oleh sang Pemilik kehidupan, maka Ibu akan segera pergi dengan tenang agar
Ibuku tak menderita lagi karena sakit yang di deritanya. Alhamdulillah setelah
itu Ibuku sehat, sembuh seperti sediakala. Ibuku masih ada disisiku hingga
sekarang. Lihatlah Ibu, kini kakak sudah menjadi seorang guru, menikah dan
memiliki anak. Dan aku kini telah menjadi sarjana. Aku juga akan menjadi
seorang guru yang akan mengamalkan ilmu dan mencerdaskan anak bangsa. Sungguh
aku tak menyangka Ibu akan diberi nafas hingga sekarang jika ingat masa itu.
Sungguh, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan. Terima kasih ya Alloh.
***
Ketika aku pulang KKN dan
mengurus skripsi, tak ku lihat pujaan hatiku di kampus. “Mas Faiz dimana?”,
kataku dalam hati. Hatiku tersontak sangat hebat saat ku dengar dari teman
sekelasnya bahwa Ibu Mas Faiz sedang sakit dan dirawat di rumah sakit.
Pikirankupun melayang, aku yakin apa yang Mas Faiz kini rasakan tak beda dengan
apa yang aku rasakan ketika Ibuku sakit dulu. “Ya Alloh, sembuhkan Ibu Mas
Faiz, angkatlah penyakitnya”, gumamku lirih. Tak terasa air mata menetes di
pipiku saat itu. Semenjak Ibu Mas Faiz sakit, aku selalu sebut namanya di dalam
do’aku. Aku tak bisa membayangkan betapa sedihnya Mas Faiz saat ini. Ibu
tercintanya sakit, disaat dia harus mulai menulis skripsi. Ingin rasanya aku
menjenguknya tapi tidak mungkin karena aku takut itu akan mengganggu jiwa Mas
Faiz. Aku tahu dia tak suka aku datang karena saat aku bertanya apakah Ibu
masih dirumah sakit atau tidak, dia tak menjawab. Jadi lebih baik aku do’akan
saja. Lalu aku kirimkan bacaan sholawat syifa kepada Mas Faiz lewat WA. Aku
menganjurkan agar sholawat itu dibacakan kepada Ibunya yang sedang sakit. Aku
ingin Ibunya sembuh seperti Ibuku dulu. Keesokan harinya, aku pulang ke
Wonosobo setelah aku menyerahkan revisi BAB 1 pada Pak Wid, pembimbingku. Lalu
dua hari kemudian aku menerima sebuah sms. Ku buka sms itu di hari sabtu pagi.
“Ibunya Mas Faizin meninggal tadi siang jam 1. Takziah gak?”. Kulihat sms itu
dikirim hari jum’at pon, 29 jumadil awal 1436H/ 20 Maret 2015, tepat dua hari
setelah aku berulang tahun dan jum’at pon adalah hari lahir Ibuku. Badanku
lemes dan mataku kunang-kunang setelah ku baca sms itu. Tak sanggup aku berkata
dan air matapun tak mau menetes. “Innalillahi wainnailaihi roji’un”, kataku
sambil menggenggam ponsel. Ibuku heran melihat sikapku dan bertanya apa yang
membuat aku begini. Aku hanya memperlihatkan sms yang aku terima pada Ibuku.
“Lha sira agek takziah kapan?”, tanya Ibuku kemudian. “Mas Faiz mboten remen
nek kulo mriko”, jawabku. “Seneng ora seneng, takziah ora ana salahe. Seng
penting niate apik, tanggepane Faizin ora sah dipikir”, jawab Ibu. Lalu aku
tanya teman alamat Mas Faiz. Jawaban temanku “Kalau lewat jalur dalem, dadirejo
belok kiri lurus ngikutin jalan aspal. Ada masjid Banjaran belok kiri kira-kira
200 meter rumah kanan jalan”. Pusing kepalaku karena aku belum pernah tahu
daerah itu. Ada teman juga yang ngasih alamat lengkap padaku sampai RT berapa
juga. Ada juga yang ngasih tahu lewat SMP Temon masuk juga bisa. Tak
pikar-pikir, tak pikir-pikar, akhirnya aku cari alamat itu bersama temanku. Dengan
muter-muter, nanya-nanya akhirnya ketemu juga masjid yang dimaksud. Tapi
ternyata aku kurang beruntung karena aku tidak bertemu Mas Faiz. Dia sedang ke
jogja untuk sebuah urusan. Aku hanya bertemu dengan neneknya, tantenya dan
sepupunya. Mereka sangat baik padaku. Lalu aku minta sepupunya mengantar aku ke
makam Ibu Mas Faiz. Tak mengapa meski tak bertemu dengannya, toh niatku datang
untuk takziah bukan untuk menemui pria yang ku sebut my prince. Namun aku tak
menyangka karena keesokan harinya saat aku sedang di kos, aku mendapatkan pesan
lewat WA yang tak sedap dari sepupunya. Kata-katanya sungguh menusuk lalu Mas
Faiz juga blokir WA ku. Aku sungguh tidak mengerti apa yang membuat mereka
marah padaku sedemikian hebatnya. Sepupunya menuduh aku menulis apa gitu yang
membuat dia marah dan sakit hati terus juga menuduh kalau apa yang aku lakukan
hanya untuk menarik perhatian Mas Faiz. Membawa-bawa sakit dan meninggalnya Ibu
pada tulisan tentang aku dan Mas Faiz. “Astaghfirullohal’adzim, Engkau tahu ya
Alloh bahwa aku tak sejahat itu. Biarlah mereka marah, aku ikhlas”.
“Lindungilah Mas Faiz ya Alloh, sehatkan dia, lembutkanlah hatinya dan
sabarkanlah dia. Terimalah almarhumah Ibu disisiMU yang paling indah. Amin”.
Aku akan tetap mencintainya meski ku tahu cintaku dia balas dengan kebencian.
Aku akan tetap menyayanginya meski aku tahu dia selalu mengabaikan aku dan tak
suka padaku dan akan selalu begitu. Aku akan tetap mendo’akan yang terbaik
untuknya meski dia tak pernah mengingatku walau seperti angin berlalu. Aku
memang tak pernah mengenal Ibu saat beliau masih hidup namun kini aku mengenal
dan selalu berkomunikasi padanya lewat lantunan ayat alqur’an, tahlil, do’a dan
sholat lianisil qobri yang aku lakukan setiap hari untuk almarhumah Ibu yang
telah melahirkan dan merawat seorang pria yang sangat aku sayangi
0 komentar:
Post a Comment