Awal cerita dari
pagi yang tak begitu cerah. Awan mendung dan udara dingin di waktu pagi itu
membuat gue sulit untuk bangkit dari tidurku, bangkit dari rasa dingin yang
menusuk sampai tulang rusuk gue. Tapi hal tersebut bukan suatu alasan untuk
tidak bangun dari tidur gue, dikarenakan ada sesosok makhluk yang sering
membangunkan gue dari tidur.
“Rudi tangi, wes
usuk. Koe arep sekolah pora??”(maaf bahasan percakapan gue dan nenek gue masiH
menggunakan bahasa Jawa, karena gue dan nenek gue tinggal di Jawa).
“ora mbah, saiki
dino minggu” membuat suatu kebohongan agar nenek gue percaya saja.
“ngawur, sekolah
nganah. Ben koe pinter, ben besok dadi wong sugeh”
“lah, ra sekolah
ben bisa dadi wong sugeh”
“dasar ngeyel ki
bocah, makat ora?”
“sangune set ya
mbah, kulo mangkat”
“dasar wedus
duiten”itu ejekan bagi gue yang pemalas).”iyo.... saiki adus anjur makat
sekoha. Mengko tak kei duet”
“awas yaa...
ngloboni meneng”
Gue merupakan
anak yang bandel dan nakal di waktu gue masih kecil, di seluruh desa pun tahu
kalau gue ini anak yang nakal. Banyak warga desa yang membenci gue saat gue
kecil.
Sesudah mandi
dan berpakaian rapi ala gue, langsung mencari nenek untuk meminta uang. Kalau
tidak cepat-cepat, keburu nenek mempunyai alasan untuk tidak memberi gue uang
saku.
“mbah, wes adu
ki, di duite... “ berteriak di dalam rumah yang sempit, membuat nada teriakan
gue menggema.
“iya, ki nyah” suara
luar rumah, pun terdengar di dalam rumah. “simbah neng ngarep”
berlari menujuh
ke luar rumah, ‘mana mbah”
“nyah, jo lali dicelengi”
“masa
lingangatus di celengi”
“sengpenti udu
akeh he duite sengpenting mafaate........... bla....bla....bla....bla”
Seperti biasa,
nenek gue membuka kuntum dengan bahasa yang sulit untuk dimengerti. Sebelum
telinga gue semakin panas, langsung cabut saja.
Cerita sebelumnya..... Cerita sebelumnya......
Cerita sebelumnya..... Cerita sebelumnya......
0 komentar:
Post a Comment