Di
suatu sekolah dasar, ada seorang guru yang selalu tulus mengajar dan selalu
berusaha dengan sungguh-sungguh membuat suasana kelas yang baik untuk
murid-muridnya.
Ketika
guru itu menjadi wali kelas 5, seorang anak–salah satu murid di kelasnya–
selalu berpakaian kotor dan acak-acakan. Anak ini malas, sering terlambat dan
selalu mengantuk di kelas. Ketika semua murid yang lain mengacungkan tangan
untuk menjawab kuis atau mengeluarkan pendapat, anak ini tak pernah sekalipun
mengacungkan tangannya.
Guru
itu mencoba berusaha, tapi ternyata tak pernah bisa menyukai anak ini. Dan
entah sejak kapan, guru itu pun menjadi benci dan antipati terhadap anak ini.
Di raport tengah semester, guru itu pun menulis apa adanya mengenai keburukan
anak ini.
Suatu
hari, tanpa disengaja, guru itu melihat catatan raport anak ini pada saat kelas
1. Di sana tertulis: “Ceria, menyukai teman-temannya, ramah, bisa mengikuti
pelajaran dengan baik, masa depannya penuh harapan,”
“..Ini
pasti salah, ini pasti catatan raport anak lain….,” pikir guru itu sambil
melanjutkan melihat catatan berikutnya raport anak ini.
Di
catatan raport kelas 2 tertulis, “Kadang-kadang terlambat karena harus merawat
ibunya yang sakit-sakitan,”
Di kelas 3 semester awal, “Sakit ibunya nampaknya semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering mengantuk di kelas,”
Di kelas 3 semester awal, “Sakit ibunya nampaknya semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering mengantuk di kelas,”
Di
kelas 3 semester akhir, “Ibunya meninggal, anak ini sangat sedih terpukul dan
kehilangan harapan,”
Di
catatan raport kelas 4 tertulis, “Ayahnya seperti kehilangan semangat hidup,
kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan kepada anak ini,”
Terhentak
guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan dada. Dan tanpa disadari
diapun meneteskan air mata, dia mencap memberi label anak ini sebagai pemalas,
padahal si anak tengah berjuang bertahan dari nestapa yang begitu dalam…
Terbukalah
mata dan hati guru itu. Selesai jam sekolah, guru itu menyapa si anak:
“Bu guru kerja sampai sore di sekolah, bagaimana kalau kamu juga belajar mengejar ketinggalan, kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu ajarin,”
“Bu guru kerja sampai sore di sekolah, bagaimana kalau kamu juga belajar mengejar ketinggalan, kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu ajarin,”
Untuk
pertama kalinya si anak memberikan senyum di wajahnya.
Sejak
saat itu, si anak belajar dengan sungguh-sungguh, prepare dan review dia
lakukan di bangkunya di kelasnya.
Guru
itu merasakan kebahagian yang tak terkira ketika si anak untuk pertama kalinya
mengacungkan tanganya di kelas. Kepercayaan diri si anak kini mulai tumbuh
lagi.
Di
Kelas 6, guru itu tidak menjadi wali kelas si anak.
Ketika kelulusan tiba, guru itu mendapat selembar kartu dari
si anak, di sana tertulis. “Bu guru baik sekali seperti Bunda, Bu guru adalah
guru terbaik yang pernah aku temui.
”Enam
tahun kemudian, kembali guru itu mendapat sebuah kartu pos dari si anak. Di
sana tertulis, “Besok hari kelulusan SMA, Saya sangat bahagia mendapat wali
kelas seperti Bu Guru waktu kelas 5 SD. Karena Bu Guru lah, saya bisa kembali
belajar dan bersyukur saya mendapat beasiswa sekarang untuk melanjutkan sekolah
ke kedokteran.
”Sepuluh
tahun berlalu, kembali guru itu mendapatkan sebuah kartu. Di sana tertulis,
“Saya menjadi dokter yang mengerti rasa syukur dan mengerti rasa sakit. Saya
mengerti rasa syukur karena bertemu dengan Ibu guru dan saya mengerti rasa
sakit karena saya pernah dipukul ayah,”
Kartu pos itu diakhiri dengan kalimat, “Saya selalu ingat Ibu guru saya waktu kelas 5. Bu guru seperti dikirim Tuhan untuk menyelamatkan saya ketika saya sedang jatuh waktu itu. Saya sekarang sudah dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi seorang dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah guru wali kelas ketika saya kelas 5 SD.”
Kartu pos itu diakhiri dengan kalimat, “Saya selalu ingat Ibu guru saya waktu kelas 5. Bu guru seperti dikirim Tuhan untuk menyelamatkan saya ketika saya sedang jatuh waktu itu. Saya sekarang sudah dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi seorang dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah guru wali kelas ketika saya kelas 5 SD.”
Setahun kemudian, kartu pos yang datang adalah surat undangan, di sana tertulis satu baris,
“Mohon duduk di kursi Bunda di pernikahan saya, ”Guru pun tak kuasa menahan tangis haru dan bahagia
Kalau hati bapak ibu guru bergetar membaca cerita ini,boleh bapak ibu guru share ke semua orang terutama kepada guru/pendidik....karena keikhlasan mampu menggetarkan dunia......termasuk juga keikhlasan utk meng-share hal-2 kebajikan.
0 komentar:
Post a Comment